Sumber: ycabfoundation.org |
Butet Manurung yang terkenal dengan kegigihannya untuk mendidik suku terpencil, dilahirkan di Jakarta tanggal 21 Februari 1972, dengan nama Saur Marlina Manurung. Kedua orang tuanya, Victor Manurung dan Anar Tiur Samosir sangat menyayangi dan memanjakan Butet yang merupakan anak tunggal ini. Masa kecilnya dihabiskan di negeri Belanda dan dibesarkan di Jakarta dengan segala hiruk pikuk dan modernisasi kota besar. Sejak kecil ia diajarkan untuk mencintai alam dan peduli kepada sesama.
“Habis gelap Terbitlah terang” seperti yang dituliskan Kartini, ternyata menginspirasi bagi Saur Marlina Manurung untuk memberikan terang bagi sesamanya dengan ilmu pengetahuan. Dia mendirikan sekolah dan juga mendidik Suku Anak Dalam (Orang Rimba yang hidup di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi).
Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung. Dua bidang studi, yaitu Sastra Indonesia dan Antroplogi, ditempuhnya bersamaan. Ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung.
Suatu saat perjalanan alam membawanya bertemu dengan suku Rimba di pedalaman rimba Jambi. Konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.
Sumber: vemale.com |
Bukan tanpa hambatan mengajar anak-anak rimba ini, mereka mempunyai peradaban sendiri yang sangat anti pada kemapanan dunia luar. Mempertahankan tradisi adalah sebuah keharusan. Pada awalnya orang tua anak-anak rimba ini sangat menolak pendidikan, karena kuatir kalau anak mereka menjadi pintar, terpengaruh dunia luar dan melupakan adat istiadat mereka serta tidak hormat kepada orang tua. Berkat kegigighan butet melakukan pendekatan yang menyesuaikan kehidupan mereka akhirnya Butet diterima baik di masyarakat ini.
Pola pendidikan yang dicoba diterapkan Butet kepada anak-anak di pedalaman Suku Anak Dalam, tentulah sangat berbeda dengan guru kebanyakan di tanah air. Ia menerapkan pola belajar yang mengikuti mood murid.
Sumber: silaban.net |
Selain menjadi guru, sewaktu-waktu Butet juga bisa menjadi murid. Banyak pelajaran yang ternyata bisa diperoleh dari mereka, seperti bagaimana mengenali jejak sampai mengobati secara tradisional. Hal-hal itulah yang tidak pernah didapatnya ketika masih sekolah maupun di perguruan tinggi.
Banyak sekali penghargaan yang telah ia terima seperti Man and Biosfer Award 2001, Woman Of The Year bidang pendidikan AnTv 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005, Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006 dan Young Global Leader Honorees 2009. (BuKin/SFP)
Sumber:
http://sokola.com
http:// edukasi.kompasiana.com