• Dicontekin? Kasih Nggak Yaaa???



        Hai! Namaku Poppy Widiastuti. Tapi kalian cukup memanggilku Popskii saja. Dari Playgroup sampai sekarang sudah kuliah, aku tinggal di Jakarta. Kadang-kadang suka pulang ke Purwokerto kalau lagi galau tingkat tinggi. Oh ya, aku cucunya Mbah Jarwo lho!

          Minggu lalu aku menjalani UTS (Ujian Tengah Semester. Seminggu sebelum UTS dimulai, aku sudah belajar sampai mati-matian. Semua media pemberi kegembiraan seperti Twitter, Facebook, Youtube, untuk sementara aku tinggalkan semua. Bahkan aku menjadi kupu-kupu, karena selesai kuliah aku langsung pulang ke rumah (KuPu = Kuliah Pulang), dan tidak nongkrong dan menghabiskan waktu dulu di warkop (warung kopi) samping kampus seperti yang ku lakukan setiap harinya. Maka dari itu pikiran hanya aku pusatkan untuk menghadapi UTS semata.

          Pada saat masuk ruang ujian, aku cari bangku yang masih kosong. Karena aku datang agak terlambat, bangku yang masih kosong hanya berada di bagian belakang. Ya sudah, aku duduk manis di deretan bangku kedua dari belakang dan kedua dari pojok kiri.

          Ketika sedang asik mengerjakan soal ujian, terdengar suara bisikan dari telinga kanan ku. Tentunya bisikan tersebut bukan berasal dari gebetanku apalagi bisikan setan. Bisikan tersebut dilontarkan dari muIut salah satu teman sekelasku yang duduk di sampingku persis. Dia meminta jawaban soal ujian nomor 4. “Duh, soal nomor 3 aja belum nyampe, ini malah minta jawaban soal nomor 4.” batinku.  Karena konsentrasi ku masih full hanya untuk menjawab soal UTS, jadi aku katakan padanya  akan memberikan jawabannya nanti. Memang dasar pelupa, selesai mengerjakan 4 soal UTS, aku langsung saja ngeloyor mengumpulkan kertas ujianku lalu keluar dari kelas. Aku baru ingat janji ku ke temanku tadi ketika temanku menghampiriku di kantin saat aku sedang makan. Dia bilang aku pelit karena tidak mau memberikan jawaban. “Loh? Kan aku lupa!” jawabku.

          Pulang ke rumah aku cerita sama Mbah ku yang kebetulan sedang di Jakarta karena sedang ada keperluan. Aku bingung, dan aku merasa galau. Apakah aku harus memberikan jawabanku ke teman yang mau nyontek atau enggak. “Kasih aja nduk, hitung-hitung beramal toh”, ujar mbahku. “Tapi ya kalau kamu belum selesai ngerjain soalnya, mbok jangan dikasih dulu, nanti  ujianmu malah yang jadi berantakan.” begitu tambah Mbah Jarwo. Lain lagi kata Mas Suman yang aku ajak ngobrol waktu aku naik angkotnya untuk ke rumah Kak Sal. “Ya jangan kamu kasih, lah! Namanya juga ujian, ndak boleh nyontek toh? Tapi kalo nyocokin jawaban sama temen atau buku ya boleh aja.” Eh lho? Standar ganda dong! Nyocokin jawaban saat ujian kan sama aja nyontek. Hah! Aku makin galau!

          Sampai di rumah Kak Sal, akhirnya aku mendapat pencerahan dari kegalauanku. “Ya tidak boleh dong. Kalau kamu kasih temanmu untuk nyontek jawabanmu, itu sama aja kamu bikin dia malas. Lagi pula, apa kamu rela ngasih begitu aja hasil yang kamu pelajari selama seminggu sampai kamu harus meninggalkan semua hal yang kamu sukai untuk berkonsentrasi menghadapi UTS? Kalau soal nanti dimusuhi atau dikatain pelit sama teman yang gag kamu kasih contekan, ya biarkan saja. Teman kamu gag cuma dia aja, kan?” begitu kata Kak Sal.

          Wah iya juga ya. Temanku kan tidak hanya cuma satu. Masa dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi di jurusanku, aku tidak punya teman lain selain yang minta contekan? Baiklah, mulai sekarang kalau ada yang minta contekan saat ujian, tidak akan aku kasih contekannya. Enak banget dong, aku rela mengorbankan segala yang aku senangi untuk berkonsentrasi menghadapi ujian, eeh, temanku enak saja dengan cara praktisnya  menyalin semua jawaban yang sudah kupikirkan dan pelajari selama satu minggu lamanya.

          Ya sudah lah dari pada memikirkan yang tidak penting, lebih baik aku mengerjakan tugas di warkop dulu. (BuKin/SFP)