• Nabi Darurat, Rasul Ad-Hoc

    Sumber: antaranews.com
    Pementasan diawali dengan monolog Emha Ainun Nadjib membaca surat wasiat kepada anak – cucunya, di depan panggung secara bersimpuh. Isinya tentang pesan untuk menjaga alam di dunia ini.
    Ruwat Sengkolo dalam kurungan putihnya secara terus menerus berbicara tidak karuan (meracau) mengenai soal kiamat, dunia yang sudah semakin tidak teratur, dan bangsa kian terpuruk.

    “Aku, Ruwat Sengkolo, bersabda para peneliti kita menyatakan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 2060, para peneropong jagad raya mengatakan pada tahun 2040, para pengamat dan penelusur waktu mengatakan pada tahun 2012. Aku, Ruwat Sengkolo, dengan ini menyatakan apa bedanya kiamat besok–besok dengan sekarang. Sudah tidak ada tanda–tanda kehidupan, peradaban sudah mentok, nilai–nilai hakiki susah dicari. Sesungguhnya kiamat itu sudah berlangsung. Penduduk Bumi sekarang butuh nabi atau rasul. Kalau tidak ada nabi beneran, ya nabi darurat. Kalau tidak ada rasul, ya rasul ad-hoc lah.” Kutipan tersebut diambil dari dialog Ruwat Sengkolo ketika memainkan lakon pementasan Nabi Darurat Rasul Ad-hoc.

    Kondisi tiba-tiba menjadi gempar. Ruwat Sengkolo (Joko Kamto) yang tinggal bersama kakeknya (Tertib Ruratmo) di pelosok sebuah desa menjadi pusat perhatian. Ruwat mengaku nabi, sehingga Pak Lurah Sangkan (Fajar Suharno) dengan cemas datang ke rumah Ruwat bersama petugas keamanan memberi peringatan atas tindakannya yang meresahkan. Alex Sarpin, yang sangat menjiwai profesinya sebagai mahasiswa, tergelitik untuk menganalisa kejadian ini berdasarkan logika dan ensiklopedia yang selalu dibawanya. Keribetan ini sampai ke telinga orang tua Ruwat, Bapak Jangkep (Nevi Budianto) yang membuatnya pulang dari perantauannya di Jakarta untuk membela martabat anak dan keluarganya. Para anak band yang kost di sebelah rumah Ruwat (personil Letto dan Doni Kiai Kanjeng) pun ikut sibuk berdiskusi tentang sabda–sabda yang Ruwat lontarkan. Bahkan guru Ruwat, Ki Janggan (Bambang Susiawan) muncul untuk mengingatkan muridnya.

    Seiring racauan sabda Ruwat, muncul Brah Abadon (Noe Letto) bersosok sepasang mata pada layar belakang, yang menyebut dirinya utusan Malaikat Isrofil. Mempertanyakan kepada Ruwat identitas hakiki dan perannya sebagai manusia.

    Ruwat terlepas dari pernyataannya mengaku nabi, sebenarnya hanyalah manusia yang terlampau sedih atas berlangsungnya kehidupan di dunia ini. Dia menilai kehidupan sekarang sudah semakin kacau, ganjil, rusak dan hancur, sehingga diperlukan sosok pemimpin kebenaran.

    Pementasan berlangsung 3 jam, bukan waktu yang nyaman untuk mementaskan lakon dengan tema berat dan dialog yang sama beratnya. Namun para pemain, aktor senior Teater Perdikan dan personil Letto, dapat mengemasnya dengan baik melalui dialog – dialog jenaka dan bersahaja, serta bersifat kekinian. Musik pun digarap dengan romantis oleh Letto dan Doni Kiai Kanjeng, memainkan lagu–lagu Letto di panggung yang sama dalam beberapa bagian sepanjang pementasan.

    Ketika di tanyakan secara rinci mengenai pementasan, Cak Nun demikian sapaan Emha sebagai penulis naskah dengan gamblang menggambarkan, bahwa melalui para pelakonnya dunia sudah benar–benar kehilangan nilai–nilai kehidupan. Manusia sebagai khalifah di Bumi diharapkan dapat memperbaikinya tidak lepas dari keberimanan kepada Tuhan, dan alam pun nantinya pasti akan menjawab. (BuKin/NTA)