• Si “Binatang Jalang” yang Ingin Hidup Sampai Seribu Tahun

    Sumber: Istimewa
     Chairil Anwar, penyair angkatan 1945. Lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 1922, Chairil merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha. Karena ayahnya merupakan orang terpandang di daerahnya, Chairil mampu merasakan pendidikan hingga MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) walau tidak sampai lulus.


    Meskipun pendidikannya tidak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dengan kemampuannya itu Chairil mengisi jam-jamnya dengan membaca Ernest Hemingway, Nietzche, Edgar du Peron, dan banyak lagi.

    Chairil menghabiskan usianya dengan puisi dan tidak punya pekerjaan tetap. Ketika ia mengajukan sajaknya kepada redaksi Pandji Poestaka, ia ditolak karena sajak-sajaknya dinilai terlalu individualis dan kiasan-kiasannya terlalu kebarat-baratan. Maka ia sering kekurangan uang dan bersama sastrawan seperjuangannya Asrul Sani, Chairil muda sering mencuri buku. 

    Sajak Chairil sering disalahartikan oleh masyarakat Indonesia. Sajak “Aku” yang ditulisnya tahun 1943 yang sesungguhnya merupakan gambaran individualismenya sering dianggap sebagai sajak perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Demikian halnya dengan sajak “Diponegoro” yang sering dikira sajak perjuangan. Sebenarnya sajak itu adalah interpretasi Chairil akan semangat hidup Pangeran Diponegoro saat jiwanya amat diresahkan oleh kematian dan absurditas.

    Namun keberhasilan terbesar Chairil bagi persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama yang waktu itu cukup mengekang (baca: Poedjangga Baroe), menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.

    Vitalitas sajak Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang semakin lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Keinginannya untuk hidup sampai seribu tahun lagi pupus karena Chairil Anwar meninggal di usia menjelang 27 tahun karena penyakit TBC. Hari meninggalnya, 28 April diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

    Ia meninggalkan warisan berupa 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Dan seperti memenuhi pesan profetik dalam salah satu bait puisinya, “Yang Terempas dan yang Putus”: "di karet, di karet sampai juga / deru angin", Chairil dimakamkan di Pemakaman Karet. (BuKin/SFP/dari berbagai sumber)